Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Aku + Kamu = Konstanta Bahagia

  Aku + Kamu = Konstanta Bahagia Aku suka suaramu, karena frekuensinya pas, menggetarkan hati di amplitudo tertinggi, hingga jantungku berdetak tak beraturan seperti grafik sinus yang lupa rumusnya. Aku suka cara kamu bicara, setiap katanya tuh kayak variabel x dalam hidupku, yang makin dicari, makin bikin penasaran, dan makin pengen disubstitusi… ke dalam hati. 😳 Lalu lagu-lagu yang kamu kirim itu, adalah fungsi paling indah dalam playlist-ku, deret nadanya tak berhingga, dan limit rindu padamu = ∞ (tak terhingga). Kamu itu ibarat bilangan prima… gak bisa dibagi dua, karena kamu cuma satu buat aku yang selalu menghitung hari dari suaramu. Jadi................ Jika aku adalah variabel y, dan kamu adalah x dalam hatiku, maka grafik kita selalu meningkat… karena cinta kita monoton naik 💖📈

Malam Tadi, Bapak Datang Dalam Mimpi

"Malam Tadi, Bapak Datang Dalam Mimpi" Malam tadi, aku tertidur dengan hati yang lelah. Banyak hal menumpuk di kepala. pekerjaan, kehidupan, dan rindu yang tak pernah benar-benar hilang. Entah jam berapa, tapi di dalam mimpiku, semuanya terasa nyata. Aku berada di tempatdirumah lama yang penuh dengan kenangan bersamanya dengan cahaya remang-remang. Lalu, tiba-tiba, sosok itu datang… sosok yang begitu aku rindukan, Bapak. Wajahnya seperti dulu, hangat dan teduh. Dia tersenyum, matanya menatapku dalam-dalam, seolah tahu segala luka dan lelah yang kupendam. Tanpa kata, aku langsung menangis dan memeluknya erat. Aku tak peduli ini hanya mimpi yang kupedulikan hanyalah aku bisa memeluk Bapak lagi, meski hanya sebentar. Lalu Bapak membelai rambutku, memelukku dan berkata dengan suara lembut, suara yang sudah lama tak kudengar: "Bapak bangga sama kamu." Kalimat itu menembus jantungku. Air mataku tak bisa lagi kutahan. Aku menangis lebih keras dan memeluk Bapak seerat yang ...

Dalam Diam, Aku Rindu Bapak

  "Dalam Diam, Aku Rindu Bapak" Saat dunia terasa berat di pundakku, saat hatiku retak karena luka yang tak kukira, aku diam di sudut sepi, dan yang paling kurindu… adalah Bapak. Capek, Pak… Bukan cuma karena kerjaan yang menumpuk, tapi juga karena dunia yang rasanya makin bising, semua orang sibuk bicara, tapi tak satu pun benar-benar mendengar. Capek jadi anak bungsu, yang dikira selalu disayang dan dimanja, padahal seringkali jadi tempat terakhir untuk didengar, jadi orang terakhir yang boleh lelah. Capek beresin rumah yang nggak pernah benar-benar selesai, capek urus ini itu sambil pura-pura kuat, padahal di dalam hati sudah ambruk sejak lama. Dan saat semua itu menyesakkan… aku hanya bisa diam, menangis dalam senyap, tanpa tahu harus cerita ke siapa. Sering kali aku ingin pergi jauh, ke tempat sepi, di mana tak ada keramaian, tak ada pertanyaan basa-basi, tak ada tuntutan untuk terus tersenyum saat hati tak utuh. Aku tak suka keramaian lagi, Pak...

Harus Kepada Siapa Aku Bicara

  Harus Kepada Siapa Aku Bicara Harus kepada siapa aku bicara? Tentang segala hal yang kupendam dalam dada— tentang hari-hari yang melelahkan, tentang malam yang makin terasa panjang, tentang perasaan yang terus kubungkam karena tak ingin merepotkan siapa pun. Aku ingin bercerita, tentang beban pekerjaan yang tak kunjung reda, tentang tanggung jawab yang tak pernah bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” Tentang tubuh yang lelah, pikiran yang penuh sesak, dan hati yang diam-diam retak. Tapi… siapa yang benar-benar mau mendengar? Bukan sekadar membalas dengan “Sabar ya…” atau “Kamu pasti kuat kok…” padahal aku bahkan tak tahu apa aku masih sanggup atau tidak. Aku mencoba tersenyum di tengah tekanan, berpura-pura kuat di tengah keterpurukan. Menjadi bahu untuk orang lain, sambil diam-diam mencari bahu untuk aku sendiri sandarkan. Tapi tak ada. Yang ada hanya ruang kosong, chat yang dibaca tapi tak dibalas, atau percakapan yang hanya sebatas, “Kamu kenapa s...

Pesanku yang Diam-Diam Menunggumu

  Pesanku yang Diam-Diam Menunggumu Aku tahu kamu sibuk, dengan dunia yang harus kamu kejar, dengan kerjaan yang tak kenal lelah. Dan aku pun tak ingin jadi beban, cukup jadi seseorang yang kamu tahu ada. Tapi izinkan aku minta satu hal saja: jika sesekali sempat, liriklah pesanku, walau hanya sebentar. Katakan apa saja, asal itu datang darimu, agar aku tak terlalu jauh dalam dunia overthinking yang tak perlu. Maaf kalau aku bawel, atau terlalu sering merasa. Aku cuma rindu, dan ingin kamu tahu bahwa aku masih di sini, menunggu pesanmu yang mungkin tak sempat kau balas, tapi sangat aku harap kau baca.

Empat Puluh Lima Detik

 Empat Puluh Lima Detik 2 Juli 2025 Aku menunggumu, sampai akhirnya panggilan masuk senyummu muncul sekilas, tapi bibirmu tak mengucap apa-apa. Aku tanya, "Lagi di mana, a?" "Nggak di tempat kemah?" "Udah selesai kegiatannya?" Tiga pertanyaan ringan, penuh perhatian, yang seharusnya mudah dijawab… jika kau memang ingin bicara. Tapi kau diam. Lalu aku mendengar ada suara perempuan lain, lembut, dekat, nyata: "Udah ah capek, mau istirahat." Dan detik berikutnya, layar padam. Panggilan berakhir. Tanpa penjelasan, tanpa pamit, tanpa satu kata pun darimu. Aku duduk menatap sisa panggilan itu, empat puluh lima detik yang terasa seperti dihukum tanpa tahu salahnya. Dan malam pun jadi panjang, dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang di kepalaku sendiri.