Harus Kepada Siapa Aku Bicara

 

Harus Kepada Siapa Aku Bicara

Harus kepada siapa aku bicara?
Tentang segala hal yang kupendam dalam dada—
tentang hari-hari yang melelahkan,
tentang malam yang makin terasa panjang,
tentang perasaan yang terus kubungkam
karena tak ingin merepotkan siapa pun.

Aku ingin bercerita,
tentang beban pekerjaan yang tak kunjung reda,
tentang tanggung jawab yang tak pernah bertanya,
“Apakah kamu baik-baik saja?”

Tentang tubuh yang lelah,
pikiran yang penuh sesak,
dan hati yang diam-diam retak.

Tapi…
siapa yang benar-benar mau mendengar?
Bukan sekadar membalas dengan “Sabar ya…”
atau “Kamu pasti kuat kok…”
padahal aku bahkan tak tahu
apa aku masih sanggup atau tidak.

Aku mencoba tersenyum di tengah tekanan,
berpura-pura kuat di tengah keterpurukan.
Menjadi bahu untuk orang lain,
sambil diam-diam mencari bahu untuk aku sendiri sandarkan.

Tapi tak ada.
Yang ada hanya ruang kosong,
chat yang dibaca tapi tak dibalas,
atau percakapan yang hanya sebatas,
“Kamu kenapa sih, baper banget?”

Mereka tak tahu…
aku sudah melewati banyak hal sendiri.
Menahan tangis di balik tawa,
menyembunyikan duka di balik pekerjaan yang harus selesai juga.

Kadang aku hanya ingin ada yang duduk di sampingku,
tanpa bertanya apa-apa,
tanpa memberi solusi,
cukup menemani…
cukup hadir.

Tapi hari berganti,
dan aku kembali pulang hanya dengan lelah
yang makin hari makin tak ada tempat pulangnya.

Tuhan…
jika benar Engkau satu-satunya tempat aku bisa bicara,
maka izinkan aku menangis malam ini.
Tanpa suara. Tanpa pelukan.
Tapi penuh kejujuran.

Aku butuh sandaran,
bukan karena aku lemah,
tapi karena aku sudah terlalu lama kuat…
sendirian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu, Variabel yang Kucinta