Dalam Diam, Aku Rindu Bapak

 "Dalam Diam, Aku Rindu Bapak"

Saat dunia terasa berat di pundakku,
saat hatiku retak karena luka yang tak kukira,
aku diam di sudut sepi,
dan yang paling kurindu… adalah Bapak.

Capek, Pak…
Bukan cuma karena kerjaan yang menumpuk,
tapi juga karena dunia yang rasanya makin bising,
semua orang sibuk bicara,
tapi tak satu pun benar-benar mendengar.

Capek jadi anak bungsu,
yang dikira selalu disayang dan dimanja,
padahal seringkali jadi tempat terakhir untuk didengar,
jadi orang terakhir yang boleh lelah.

Capek beresin rumah yang nggak pernah benar-benar selesai,
capek urus ini itu sambil pura-pura kuat,
padahal di dalam hati sudah ambruk sejak lama.

Dan saat semua itu menyesakkan…
aku hanya bisa diam,
menangis dalam senyap,
tanpa tahu harus cerita ke siapa.

Sering kali aku ingin pergi jauh,
ke tempat sepi,
di mana tak ada keramaian,
tak ada pertanyaan basa-basi,
tak ada tuntutan untuk terus tersenyum saat hati tak utuh.

Aku tak suka keramaian lagi, Pak.
Dulu aku pikir tempat ramai bisa mengalihkan luka,
tapi kini, keramaian justru membuatku lebih sepi,
karena di tengah hiruk-pikuk dunia…
aku hanya merindukan satu hal, kehadiranmu.

Bapak…
aku lelah, sungguh lelah.
Andai bisa kutukar semua ini
dengan satu pelukmu dan kalimat sederhana:
“Semua akan baik-baik saja, Nak.”

Kini aku hanya punya doa,
yang kubisikkan dalam air mata tengah malam,
semoga rinduku sampai padamu,
dan semoga lelahku kau bantu ringankan…
meski hanya lewat angin yang menyapa pelan dari jendela.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu, Variabel yang Kucinta